Pemerintah dalam upaya menata wilayah perbatasan selalu berpedoman pada meningkatkannya kesejahteraan dengan memaksimalkan pengelolaan terhadap kekayaan-kekayaan laut, sehingga merubah hukum laut yang bersifat “unidimensional” menjadi “pluridimensional” yang sekaligus merombak filosofi dan konsepsi hukum laut masa lalu.
Terbentang 17.504 pulau di Indonesia, 92 diantaranya adalah pulau-pulau kecil yang dijadikan sebagai titik dasar dan referensi untuk menarik garis pangkal kepulauan yang berbatasan langsung dengan 10 negara tetangga di wilayah laut yang tersebar di 10 provinsi. Dari sekitar 500 kabupaten di Indonesia, terdapat 26 kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara tetangga yang merupakan kondisi geografis yang dipakai sebagai dasar-dasar konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut yang tercantum dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985 tentang pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea. Dalam Unclos 1982 diakui bahwa Indonesia sebagai Negara Kepulauan, maka secara otomatis sesuai ketentuan di atas wilayah perairan Indonesia yang tadinya merupakan bagian dari laut lepas kini menjadi wilayah kedaulatan wilayah perairan Indonesia.
“Kita ingin perbaiki kondisi perbatasan di Kalimantan dan Papua, Selain infrastruktur perbatasan yang belum optimal, selama ini belum tergarap peluang ekonomi seperti ekspor dan impor. Terlihat sekali saat saya meninjau pos perbatasan di Entikong Januari lalu, ada peluang ekspor impor tapi kita tidak gunakan dengan baik,” Presiden Jokowi.
Kondisi existing pengelolaan wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar selama ini belum terintegrasi dengan baik, setiap Kementerian “cenderung” berjalan berdasarkan kepentingan masing-masing dan mengabaikan “asimilasi.” Batas wilayah kedaulatan Indonesia dengan negara tetangga masih menjadi masalah yang memicu “konflik” hingga kini. Isu perbatasan yang kembali mencuat adalah konflik dengan Malaysia di Ambalat, Kalimantan Timur. Indonesia juga harus menghadapi Malaysia di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Bukan itu saja, paling tidak lima lagi batas wilayah lain yang masih perlu kesepakatan dengan negara tetangga.
Beberapa media mensinyalir pada awal tahun 2016 terjadi pencaplokan wilayah perbatasan oleh Timor Leste, menggambarkan bahwa di wilayah selatan, Indonesia mengalami persoalan tentang garis batas dengan Timor Leste. Sementara, di utara, ada masalah perbatasan dengan Republik Palau di utara laut Halmahera, sedangkan dengan Filipina sebelah utara Pulau Miangas, dan dengan Vietnam di Kepulauan Natuna. Sementara di timur, perbatasan wilayah darat dengan Papua Nugini juga belum mencapai titik temu.
Menyatukan kepentingan berbagai pihak memang bukan hal yang mudah. Berbagai upaya terus ditempuh Indonesia, termasuk mengatasi kendala di dalam negeri seperti meningkatkan keterpaduan dan sinergi antar sektor, hubungan pusat-daerah serta hubungan daerah-daerah. Sejumlah persoalan yang masih menumpuk dan belum terselesaikan tersebut membawa implikasi pada pengelolaan kawasan di perbatasan.
Sementara itu, banyak kalangan menuding “biang keladi” permasalahan adalah tumpang-tindih program pemerintah yang project oriented, tidak komprehensif, tidak terintegrasi, tidak berkesinambungan, dan tidak menyentuh kebutuhan masyarakat setempat. Berbagai bentuk persoalan “illegal” seperti illegal trafficking juga masih terjadi di batas wilayah perbatasan.
Kenyataan itu menegaskan adanya fenomena bahwa pemerintah belum menjadikan wilayah perbatasan sebagai beranda depan. Masyarakat di hampir semua wilayah RI yang berbatasan dengan negara tetangga masih banyak yang berada dibawah garis kemiskinan dan terbelakang.
Apa yang harus dilakukan?
“Melihat perbatasan berarti memahami apa yang ada dibelakangnya dan melakukan harmonisasi diantara keduanya.” merupakan prinsip dasar yang harus dipegang dalam mengembangkan wilayah perbatasan.
Upaya dalam mengembangkan perbatasan tidak bisa hanya melihat dari variabel internal Negara saja, namun lebih jauh harus mampu melakukan proses harmonisasi dengan Negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Maksudnya adalah kedua Negara memiliki kebijakan politik yang sama dalam memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat di perbatasan.
Secara filosofis, menurut Mahendra, problematika di kawasan perbatasan di Indonesia terletak pada landasan filsafat atau pandangan yang menjadi dasar cita-cita dan tujuan pendirian negara RI. Sementara pada problematika yuridis, permasalahan kawasan perbatasan tidak hanya sekedar menegaskan garis batas negara, tetapi jauh lebih penting perbatasan sebagai bagian dari wilayah negara dimana pengelolaannya tidak terlepas dari kebijakan maupun peraturan yang bersifat nasional sehingga dapat tercipta lingkungan yang kondusif baik untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara (one regulation concept).
Saat ini, hampir semua negara, terutama negara maju, telah mengubah orientasi politik perbatasannya dari hard border policyke soft border policy, yaitu dari pendekatan keamanan ke pendekatan kesejahteraan. Hal ini didorong oleh pengaruh globalisasi dan perkembangan geo-politik dan geo-ekonomi dunia.
Sementara itu, dalam hal tertentu Indonesia masih terlihat lebih mengedepankan faktor pertahanan dan keamanan (hankam) untuk meningkatkan ketahanan wilayah perbatasan. Kedepan, pemerintah seyogyanya lebih mendorong pendekatan pemberdayaan melalui penciptaan kegiatan produktif masyarakat di wilayah perbatasan dalam berbagai sektor, khususnya sektor industri, perdagangan, pendidikan, dan pariwisata.
Di lingkungan Kementerian riset, teknologi dan pendidikan tinggi telah menghela beberapa program terkait dengan pengembangan wilayah perbatasan, terutama untuk peningkatan kapasitas dan daya saing, seperti program BOPTN, SM3T, Desa Inovasi, Teknologi Spesifik Lokasi, program pengembangan STP (Science Teknology Park), serta Program Pengabdian kepada Masyarakat. LPNK dibawah koordinasi kemenristekdikti seperti BPPT, LIPI, BATAN dan BIG juga banyak menluncurkan program untuk mendorong pemberdayaan wilayah perbatasan.
Namun, tampaknya semua itu belum cukup, karena disamping kolaborasi antar instansi masih lemah dan cenderung berjalan sendiri-sendiri, juga karena infrastruktur dan akses ke wilayah perbatasan masih mengahadapi banyak kendala teknis, sehingga dampaknya nyaris tidak terdengar. Di sisi lain, masih sedikit keterlibatan sektor swasta dalam mengembangkan wilayah perbatasan, misalnya melalui program CSR (corporate social responsibility).
Karena itu, perlu “reorientasi” program untuk memperkuat pengembangan wilayah perbatasan yang lebih komprehensif dan terintegrasi agar program-program yang berstrategi penta-helix tersebut dapat menjadi energi penggerak peningkatan PDB di perbatasan tidak saja bagi Indonesia tetapi juga dirasakan oleh masyarakat dari Negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia.
Re-planning wilayah perbatasan Indonesia……
Proses penataan ulang wilayah perbatasan dimulai dengan pemanfaatan IPTEK dan Inovasi. selaras dengan kondisi wilayah. Hal ini dapat ditempuh melalui program penguatan Sumberdaya, Kelembagaan dan Jaringan.
Penguatan sumberdaya dapat dilakukan melalui penguatan SDM melalui pelatihan, pendampingan, penguatan kurikulum akademi vocational, serta technopreneurship. Penguatan kelembagaan melalui Desa Inovasi, Science Technology Park, pembentukan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi berbasis Iptek serta pengembangan local champion. Sedangkan jaringan dapat ditingkatkan melalui peningkatan klaster industri, klaster inovasi, serta peningkatan dan penyelarasan terhadap perkembangan global.
Pengembangkan wilayah perbatasan harus dilakukan secara berkelanjutan, melalui penanaman budaya Iptek di masyarakat. Dengan menanamkan budaya iptek sejak dini, akan tumbuh generasi masyarakat perbatasan kedepan yang memiliki daya pikir dinamis, kreatif, dan mandiri. Dengan cara ini kemandirian dan kekuatan masyarakat perbatasan akan meningkat sehingga akan membantu Negara dalam mengamankan wilayah perbatasan dari gangguan kepentingan asing.
Dalam hal ini, keterlibatan perguruan tinggi dan lembaga litbang diperlukan sebagai katalisator dan dinamisator yang dapat memberikan pelatihan dan pendampingan kepada masyarakat untuk menumbuhkan dan mengembangkan motivasi berpikir dan berperilaku “produktif” dalam mengolah sumber daya lokal yang berwawasan lingkungan, sehingga masyarakat dapat meningkatkan nilai tambah ekonomi dan kesejahteraan.
Beberapa program dukungan iptek yang dilaksanakan LPNK koordinasi Kemenristekdikti berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat di wilayah perbatasan, di antaranya: pemanfaatan TV perbatasan, penggunaan listrik tenaga surya, program difusi teknologi atau teknologi tepat guna berbasis pengetahuan lokal, serta kajian pembangunan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk desa di perbatasan.
Adanya rentang persoalan dan tantangan wilayah perbatasan yang sangat luas maka persoalan wilayah perbatasan menjadi “pekerjaan rumah” para stakeholders menjadi cukup berat, terlebih jika dikaitkan dengan upaya mewujudkan wilayah perbatasan menjadi halaman depan. Jika itu terjadi, maka tidak tertutup kemungkinan dengan mudah kita dapat mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, termasuk pengamanan sumber daya dan lingkungan, bahkan mampu mewujudkan masyarakat perbatasan yang sejahtera dan maju. karena….. “Iptek selalu menjadi motor penggerak dalam pemberdayaan dan daya saing.”
Kedepannya..
Selain geo-politik, laut juga memiliki peran geo-ekonomi yang sangat strategis bagi kemajuan dan kemakmuran Indonesia. Laut kita mengandung kekayaan alam yang sangat besar dan beragam, baik berupa sumberdaya terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi), sumberdaya tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya), energi kelautan (seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah. Lebih dari itu, laut juga berperan sebagai pengendali dinamika iklim global, siklus hidrologi, siklus biogeokimia, penetralisir limbah, dan sistem penunjang kehidupan (life-suporting systems) lainnya yang membuat sebagian besar permukaan bumi layak dan nyaman untuk dihuni umat manusia.
Ide “one regulation” harus mampu dikonkritkan dengan usulan pembentukan UU wilayah NKRI yang secara substansial mengatur seluruh aspek kewilayahan NKRI, baik yang berada di bawah kedaulatan penuh, hak berdaulat ataupun hak-hak lain sebagaimana diatur hukum internasional, mulai dari bawah tanah sampai ruang angkasa, termasuk di dalamnya, pengaturan dan pembentukan, maupun harmonisasi Institusi Negara yang berkempeten dan berwewenang atas kawasan perbatasan. seluruh pemangku kebijakan dan juga masyarakat Indonesia disarankan agar mulai mengubah paradigma dan orientasi pembanguan kewilayahan NKRI konvensional menjadi pembangunan, pengembangan dan pengelolaan wilayah NKRI yang komprehensif, efektif, efisien, dan berbasis teknologi. Tanpa harus menunggu lagi ide UU wilayah NKRI dan ide BNKP RI terealisasi, setiap kegiatan perencanaan pembangunan, pengembangan dan pengelolaan wilayah NKRI wajib memanfaatkan teknologi geospasial yang menghasilkan data dan informasi geospasial sebagai bagian dari proses perencanaan tersebut. Walaupun sesungguhnya pemanfaatan teknologi geospasial ini tidak terbatas pada kegiatan perencanaan saja, tetapi sangat penting juga untuk dimanfaatkan pada kegiatan penataan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pembangunan, pengembangan dan pengelolaan wilayah NKRI.
Read more at http://ristekdikti.go.id/re-planning-wilayah-perbatasan-indonesia/#fPBbTpQwmMAfyCRo.99