IMIGRAN GELAP

IMIGRAN GELAP

Mencari hidup yang lebih baik adalah alasan umum orang hijrah keluar negeri mengadu nasib. Sebagian orang karena berbagai alasan nekat menjadi orang ‘gelap’ alias illegal, melanggar ketentuan visa yang diberikan. Kebanyakan pelanggaran berupa datang dengan visa turis namun bekerja diam-diam, memegang visa student tapi bekerja lebih dari 20 jam dalam seminggu dengan sistem cash in hand sehingga tidak terkena wajib pajak atau tinggal melewati masa berlaku visa. Datang, tinggal dan bekerja dengan status gelap di negara asing memerlukan keberanian yang luar biasa. Saya tidak meragukan kapasitas mereka untuk berkorban demi masa depan yang lebih baik. Seandainya jalur legal lebih memungkinkan dari segi waktu, keuangan, kualifikasi keahlian; saya yakin mereka tidak akan mau menyandang status illegal. Tulisan ini berdasarkan penuturan teman-teman yang pernah berinteraksi langsung dengan orang-orang gelap di Sydney baik lewat tempat ibadah, sekolah abal-abal maupun tempat kerja. Saya tidak akan membahas kehadiran imigran gelap dari sisi etis. Mereka umumnya mafhum bahwa lapangan kerja labour bagi penduduk lokal dan imigran legal menjadi lebih sempit dengan kehadiran mereka.

Lewat tulisan ini saya berharap pembaca yang sempat berencana tinggal dan bekerja secara illegal di Australia dapat melihat gambaran lebih luas seberapa besar peluang ‘sukses’ dengan status illegal. Saya pribadi sampai sekarang baru ketemu satu orang yang mengaku sebagai imigran gelap jadi perkara benar tidaknya saya serahkan kepada pembaca.   Karakteristik Umum Imigran Gelap Dalam berburu pekerjaan, mereka mengandalkan network dari mulut ke mulut di perusahaan kecil menengah seperti restoran (sebagai kitchen hand), mini market, café, perkebunan (fruits picking labour), cleaning services dan pekerjaan lainnya yang mengandalkan fisik. Untuk menghemat biaya hidup, mereka rela berbagi tempat tinggal di apartment dua kamar yang dihuni delapan hingga sepuluh orang dengan biaya sekitar $90-$110/minggu. Sebagian dari mereka menggunakan nama samaran dalam interaksi di media sosial seperti Facebook. Memperkenalkan diri ke orang baru juga menggunakan samaran sebagai tindakan preventif kalau ada yang berniat jahat melaporkan mereka atau setidaknya menyulitkan pihak imigrasi untuk melacak mereka lewat nama yang tertera pada passport.

Karena lapangan pekerjaan mereka yang sangat labour intensif, usia mereka umumnya berkisar antara 20 awal hingga 40an.   Siapa yang Diuntungkan dengan Kehadiran Imigran Gelap? Operator bisnis nakal senang dengan kehadiran imigran gelap. Mereka melihat imigran gelap sebagai sumber tenaga kerja murah yang mudah dieksploitasi. Sedangkan operator sekolah abal-abal meraup profit dengan memposisikan diri sebagai pintu masuk bagi mereka yang ingin berpenghasilan dollar dengan kedok sebagai student. Untuk lebih lengkapnya, baca Menguak Mitos Gaji Dollar yang pernah saya bahas disini. Bahkan ada juga calo yang mengatur ‘kawin kontrak’ dengan pemegang visa Permanent Residency (PR) atau berwarga negara Australia dengan membayarkan sejumlah uang. Jalan ini termasuk panjang dan mahal karena peralihan dari status TR (temporary resident) hingga PR bisa memakan waktu hingga 2 tahun lebih.

Selama itu mereka tetap harus terlihat ‘menikah’ di mata hukum keimigrasian.   Bagaimana cara mereka memperbaiki hidup? Mencari jodoh orang lokal agar bisa tinggal permanen Saya pernah dengar cerita seorang wanita yang melanjutkan sekolah abal-abal dengan terus mengambil kurus berbeda sembari bekerja serabutan sambil mencari celah untuk tinggal dan bekerja secara permanen di Australia. Singkat cerita, dia bertemu jodoh berwarga negara Australia. Dari posting foto-foto di laman Facebook, tampaknya perbedaan usia puluhan tahun tidak menghalangi mereka untuk hidup happily ever after. Skenario diatas sangat jarang ditemui. Kebanyakan teman pemegang visa PR enggan mensponsor pacarnya dengan alasan takut hanya dimanfaatkan kecuali kalau sudah 1000% yakin hubungannya memang serius and he/she is the one. Seorang teman lain yang berstatus TR memilih berjuang sendiri mendapat PR lewat skills migration scheme demi menghindari prasangka meskipun pacarnya (kalau diminta) dengan senang hati mensponsosri. Kalau yang masih berstatus legal sebagai student dan TR saja masih banyak yang ragu mau kasih sponsor, apalagi yang berstatus gelap? Ini bukan sekedar paranoid karena yang mensponsori juga menanggung resiko kehilangan kesempatan mensponsori genuine spouse di masa depan (kalau diceraikan pasangan setelah PR ditangan).

 

Share this Post: