Sudah menjadi rahasia umum dalam masalah waktu, masyarakat kita dikenal suka menggunakan sistem “jam karet”. Layaknya sebuah karet, ia akan bisa kita ulur sekehendak kita. Begitu pula halnya dengan jam karet, tidak ada prinsip tepat waktu di dalam penerapannya. Ia selalu molor, molor, dan molor. Sebagai contoh, ketika kita hendak mengadakan rapat ataupun kegiatan sejenisnya yang berkaitan dengan ketepatan waktu, maka setiap kali itu pula pemunduran jadwal dari waktu yang telah disepakati, senantiasa terjadi.
Sepakat kumpul jam tujuh, tibanya jam setengah delapan. Berjanji untuk datang jam sepuluh, munculnya malah jam sebelas, begitu seterusnya, dan begitu seterusnya. Dan ‘tradisi’ ini terjadi, bermuara pada karakter masyarakat yang ‘doyan’ menunda-nunda pekerjaan/waktu.
Ironinya, kasus tersebut (menunda-nunda) tidak hanya melanda golongan bawah (masyarakat biasa) negeri ini, namun, mereka yang ‘duduk’ di kursi pemerintahan (yang seharusnya menjadi tauladan) pun melakukan hal serupa. Perilaku yang kurang terpuji ini, tentu sangat memprihatinkan, sebab sebagai negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seharusnya kita harus lebih cermat dalam memanfaatkan waktu. Kenapa? Karena dalam ajaran Islam, tidak mengenal konsep menunda-nunda. Laa tuakhir ‘amalaka ilal ghaadi maa taqdiru an-ta’malal yaum (janganlah kamu menunda-nunda pekerjaanmu besok hari, apa yang bisa kamu lakukan sekarang).
Mengapa menunda?
Menunda biasa kita artikan dengan menangguhkan suatu urusan untuk sementara waktu, dengan jaminan akan mengerjakanya di waktu yang lain. Pada dasarnya, menunda itu tidaklah jadi masalah, dengan catatan, berhenti kita dari aktivitas tersebut, karena dituntut untuk menunaikan kewajiban yang lain, yang lebih penting atau memang kondisi yang darurat.
Dalam bukunya, Fiqh Al-Awwaliyah, Dr Yusuf Qaradhawi menerangkan, , selayaknyalah kaum muslimin untuk lebih memilih suatu pekerjaan yang dianggap paling prioritas, dari pada yang kurang prioritas.
Yang menjadi masalah –dan ini yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita saat ini– seringkali mereka menunda-nunda pekerjaan dengan alasan yang kurang dibenarkan, atau lebih tepatnya, karena merasa masih punya waktu luang, bad mood, atau sejenisnya. Penundaan macam ini yang –biasanya- justru akan membuat pekerjaan kita terbengkalai, karena untuk kembali melanjutkan aktivitas yang sudah kita tangguhkan, sukarnya luar biasa. Hal ini tidak lepas dari gangguan setan, yang notabene adalah musuh kita yang nyata.
Sebagai contoh, ketika kita hendak belajar, membaca, ataupun menelaah bidang ilmu, kita sering berleha-leha dengan alasan masih banyak waktu, “besokkan masih bisa dilanjutin.” Bisikan-bisakan demikian, sejatinya berasal dari bisikan setan dan hawa nafsu yang tidak pernah rela apabila kita melakukan kebajikan.
Tidak hanya satu, dua kali setan dan hawa nafsu mendorong kita untuk menunda pekerjaan, namun, mereka akan terus-menerus memperdayai kita, hingga kita takluk dengan bujuk rayuan mereka. Dan ketika mereka (setan dan hawa nafsu) berhasil membelokkan kita, maka, kemudian hari, kita pun akan menuai buahnya, yaitu berlalunya waktu dengan kesia-siaan. Masa muda yang penuh semangat, berlalu begitu saja hingga tiba masa tua renta. Masa kaya sirna tanpa makna berganti dengan masa sengsara. Waktu luang terbuang, berganti dengan masa sibuk. Masa sehat kita lalui tanpa sesuatu yang bermanfaat, hingga tiba masa sakit. Semua waktu berlalu, tanpa memiliki makna.
Dan yang perlu diperhatikan, setiap hitungan detik itu senantiasa terkandung akan dua hal, yaitu; hak dan kewajiban yang harus ditunaikan.
Pengabaian terhadap hak dan kewajiban tersebut akan membawa kemudharatan yang berlipat-lipat bagi pelaku. Seorang ahli hikmah berkata bahwa kewajiban pada tiap-tiap waktu memungkinkan untuk diganti, namun hak-hak dari tiap waktu tersebut tidak mungkin diganti.
Ibnu ‘Atha mengungkapkan, “Sesungguhnya pada setiap waktu yang datang, maka bagi Allah atas dirimu kewajiban yang baru. Bagaimana kamu akan mengerjakan kewajiban yang lain, padahal ada hak Allah di dalamnya yang belum kamu laksanakan!”
Hasan Al Banna mengatakan bahwa, ”Alwaajibatu Aktsaru minal Auqoot.” Kewajiban yang dibebankan kepada kita itu lebih banyak daripada waktu yang kita miliki, pada saat kita menunda dari menyelesaikan suatu perkara. Hakikatnya kita sedang menumpuk-numpuk kewajiban, semakin kita sering menunda maka semakin banyak tumpukkan pekerjaan yang harus kita selesaikan, sehingga apabila kita menunda berarti kita hidup dalam tumpukan-tumpukan kewajiban untuk diselesaikan dalam waktu yang lebih sedikit.
Di saat kita bekerja dengan sekian banyak kewajiban dengan waktu yang sedikit, jangan harap kita dapat bekerja dengan profesional dan menyenangkan. Yang ada, justru hidup tidak tenang, selalu dihantui sekian banyak tugas dan kewajiban yang harus dikerjakan. Dan tidak menutup kemungkinan, ada beberapa kewajiban yang tidak bisa kita tunaikan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pikiran yang pada akhirnya akan mendapatkan kegagalan demi kegagalan yang diakibatkan oleh kebiasaan menunda tersebut
Selain itu, rasa takut juga –terkadang- menjadi alasan orang menunda-nunda pekerjaan. Padahal untuk mengatasinya, tersedia tiga pilihan bagi kita, yaitu; menghindarinya, mengharapkan ia cepat berlalu, atau menghadapinya untuk dilaksanakan.
Menghindar, jelas bukan solusi karena menghindar dari kewajiban adalah sama dengan lari dari kenyataan. Sedangkan lari dari kenyataan, berarti kekufuran atas ketetapan Allah SWT. Begitu juga dengan angan-angan kosong, agar ia (permasalahan) cepat berlalu tanpa menimpa kita, jelas ini adalah perbuatan tercela. Pilihan yang benar adalah hadapi permasalahan tersebut, dan selesaikan.
Segera, segera, segera!
Para ulama salaf kita telah menuliskan resep yang ampuh untuk mengobati penyakit kronis ini, yaitu dengan mendidik diri agar segera melakukan dan bersegera menuntaskan.
Allah Ta’ala berfirman, “Bersegeralah kalian menuju ampunan Tuhan kalian dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran [3]: 133).
Rasulullah juga bersabda berkaitan dengan pentingnya mempersegerakan suatu urusan. Sabdanya, “Bersegeralah melakukan perbuatan baik, karena akan terjadi fitnah laksana sepotong malam yang gelap.” (HR. Muslim). Dalam hadits lain, beliau juga menerangkan, “Jadilah engkau di dunia laksana orang asing atau orang yang menyeberangi jalan.” Ibnu umar berkata. “Bila engkau berada di sore hari, maka jangan menunggu datangnya pagi, dan bila engkau di pagi hari, maka janganlah menunggu datangnya sore.” Manfaatkan waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu.
Hasan Al-Bashri berwasiat, “Jangan sekali-kali menunda-nunda karena Anda adalah hari ini bukan besok.” Beliau juga berkata ,”Apabila Anda memiliki esok hari, maka penuhilah dengan ketaatan, sebagaimana hari ini yang Anda penuhi dengan ketaatan bila Anda tidak lagi hidup di esok hari, maka Anda tidak akan menyesal atas apa yang Anda lakukan hari ini.”
Ibnu Al jauzi mewanti-wanti kita agar tidak mengulur-ulur waktu. Beliau pernah mengatakan, “Jangan sekali-kali mengulur-ulur waktu, karena ia merupakan tentara iblis yang paling besar.” Penundaan merupakan bekal orang yang bodoh dan lalai. Itulah sebabnya orang yang saleh berwasiat, “Jauhilah ‘saufa (nanti)’, penundaan juga kemalasan, merupakan penyebab kerugian dan penyesalan.”
Di penghujung tulisan ini, bisa kita simpulkan, kebiasaan menunda-nunda pekerjaan, merupakan perilaku buruk, yang bisa menjadi penghalang kesuksesan kita di kemudian hari. Sejarah telah berkata, tidak sedikit bani Adam mati dengan meninggalkan segudang cita-cita yang gagal direalisasikannya, dan itu dimodusi, seringkalinya ia mengucapkan kata ‘nanti’ setiap kali melakukan aktivitas. Karena itu, kita berdo’a mudah-mudahan kita tidak termasuk dalam golongan tersebut. Wallahu ‘alam bis-shawab