Perbincangan tentang tawadhu banyak diungkap dalam disiplin ilmu tashawuf dan dunia ajaran spiritualitas dan akhlak yang sudah ada sejak awal sejarah para nabi dan rosul. Mulai dari nabi Adam a.s hingga mencapai klimaksnya pada nabi Muhammad SAW. Bahkan misi utama tugas kerasulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Diskursus disekitar tawadhu dalam dunia tashawuf merupakan bahasan yang penting, sebab ia merupakan akhlak terpuji yang akan membawa pelakunya kepada masa kebahagiaan tiada tara karena tawadhu adalah bagian dari aspek bathiniyah yang melibatkan ranah terdalam hati manusia, ia juga merupakan salah satu maqomat yang harus dilalui seorang sufi yang ingin mencapai kedekatan dengan tuhannya. Tawadhu dalam pandangan tashawuf adalah tawadhu yang erat kaitannya dalam hubungan yang terkerucut pada aspek hubungan hamba dengan tuhan maupun dengan sesamanya. Dengan tawadhu ini seorang hamba menghantarkan dirinya secara tidak langsung untuk berjalan dengan ketundukan dan kepatuhan menjalankan segala yang diperintahkan oleh tuhan dengan memasrahkan diri kepadanya, adapun tawadhu dalam aspek sosial terarah pada kerendahan hati antar sesama, hubungan antar mereka, dan lain-lain. Disini pemakalah merasa tertarik untuk mengkaji dan mencari hakekat apa dan bagaimananya perihal tawadhu.
Uraian-uraian tentang tawadhu banyak didengungkan oleh dan di berbagai media kajian aspek relijiutas, karena tak bisa dipungkiri tawadhu merupakan pola kajian yang normatif yang ada hubungannya seberapa besar kedekatannya kepada sang pencipta (Allah SWT) dan antar manusia juga. Oleh karena itu mengenai tentang tawadhu banyak dikaji dan didalami oleh para pencari nikmat kesejukan jiwa dan kebahagiaan yang menginginkan kedekatan dengan sang rabbul izzati dan sesamanya baik itu masih ada yang masih berdiri kaku sebatas ranah teoritis ataupun sudah terjun mencibak-cibak pada iaplikasi lapangan.
Menurut istilah atau secara terminology, tawadhu diartikan sebagai sikap merendahkan kepada yang berhak yaitu Allah yang maha suci lagi maha tinggi, juga kepada orang-orang yang Allah SWT perintahkan kita untuk bersikap tawadhu pada mereka seperti kepada para nabi dan imam, Qiyadah, hakim, ulama dan orang tua.
Amru khalid mendefinisikan tawadhu dengan ketundukan pada kebenaran yang datang dari mana pun yang kemudian bersikap saling adanya interaksi dengan lebih sayang dan kelembutan tanpa membedakan dengan lainya, karena menurutnya tawadhu memiliki dua makna, pertama: menerima suatu kebenaran yang datang dari simpanan, kedua: merendahkan hati dihadapan orang lain dan berinteraksi dengan mereka dengan kasih sayang dan kelembutan, tanpa membedakan satu dengan lainya.
Seorang bertanya kepada ibrahim Asy’ats Al fudhail tentang tawadhu, dia berkata: “tawadhu yaitu engkau tunduk kepada kebenaran dan mengikatkan diri kepadanya. Jika engkau mendengarnya dari anak kecil maka engkau tetap menerimanya. Jika mendengarnya dari manusia yang paling bodoh maka engkau tetap menerima darinya.
Ibnu mubarak berkata: “pokok tawadhu yaitu dirimu merendahkan diri dihadapan orang yang lebih miskin darimu, sehingga kamu menjadikan dia tahu bahwa dengan duniamu tidaklah kamu memiliki keutamaan diatasnya, serta kamu meninggikan dirimu dihadapan orang yang lebih kaya darimu, sehingga kamu menjadikan dia tahu bahwa dengan dunianya tidaklah dia memiliki keutamaan yang lebih diatasmu.
Menurut pemakalah sendiri seperti yang sudah didefinisikan diatas tawadhu merupakan sikap merendahkan diri kepada yang berhak yaitu Allah yang maha suci lagi maha tinggi juga kepada orang-orang yang allah SWT perintahkan kita untuk bersikap tawadhu kepada mereka. Maka pada hakekatnya tawadhu adalah lebih umum dari khusyu, karena tawadhu mencakup pada sesama hamba dan pada sang pemilik hamba, sedangkan khushu tidak boleh dilakukan kecuali hanya pada sang pemilik hamba saja.
Sifat tawadhu' menimbulkan rasa persamaan, menghormati orang lain, toleransi, rasa senasib, dan cinta pada keadilan. Tetapi sebaliknya sifat takabbur membawa seseorang kepada budi pekerti yang rendah seperti dengki, marah, mementingkan diri sendiri, serta suka menguasai orang lain.orang-orang berakal sudah tentu menjauhkan diri dari sifat takabbur dan sombong.
Anjuran Bersikap Tawadhu
Banyak nash-nash baik Al-Qur’an yang menyuruh pada sikap tawadhu diantara firman Allah dalam surat Asyura Ayat 215:
Yang artinya : “Dan Rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman (QS Asy Ssuara: 215)
Adapun dari assunah yaitu sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh iyyadh bin khimar dia berbeda : Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendahkan diri sehingga salah seorang dari kalian tidak saling membanggakan atau yang lain dan salah seorang dari kalian tidak mendzalimi yang lain (H.R muslim). Rasulullah menyuruh agar umatnya bersifat tawadhu' dan agar disenangi oleh yang lain, beliau sering membuat perumpamaan dan contoh-contoh:
"kamu jangan memuji aku sebagaimana orang-orang Nasrani memuji putera maryam, sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah hamba Allah dan utusannya."
Jenis-Jenis Tawadhu
Tawadhu ada 2 macam salah satunya terpuji dan yang lain tercela. Tawadhu yang terpuji yaitu tunduk kepada Allah dan tidak meremehkan dan merendahkan hamba-hamba Allah, sedangkan yang tercela yaitu seorang bertawadhu kepada orang yang memiliki dunia karena meninginkan duniannya.
Adapun bersikap tawadhu pada semua makhluk maka hukum asalnya bahwa perbuatan tersebut terpuji jika diniatkan untuk mencari ridha Allah SWT sabda nabi SAW: “Tidak akan berkurang harta karena bersedekah dan tidaklah seorang hamba bersikap pemaaf kecuali akan ditambah kemuliaan oleh allah SWT dan tidaklah seorang hamba bersikap tawadhu kecuali akan diangkat dari derajat oleh Allah SWT, sedangkan bersikap tawadhu pada ahli dunia dan orang Zalim maka hal tersebut bertentangan dengan sikap izzah
Siapakah Orang Yang Tawadhu ?
Seorang yang mutawadhi yaitu seorang yang tumbuh dalam dirinya kerendahan dan ketinggian semata-mata keimanannya pada Allah SWT yang sama sekali tidak terpengaruh oleh kekuatan harga diri, harta, potensi yang dimilikinya atau orang lain. Sebab kemuliaan dan kehinaannya semata-mata karena pengetahuannya yang luas tentang hubungan dirinya dan seluruh makhluk kepada Allah yang maha tinggi lagi maha agung. “Dan dia adalah maha kuasa diatas semua hambanya “ (QS Al An’am 18).
Maka seorang mutawadhi ia sangat menyadari kebutuhannya dan kefakirannya kepada Allah SWT yang membutuhkan pengampunannya, dan ia pun menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya bersumber dari Allah SWT. Sehingga karena semua pemahamannya tersebut maka tidak pernah terbersit sedikitpun dalam hatinya sikap sombong, dan mereka lebih, karena telah meresapnya keyakinan yang menghujam ke dalam hatinya sehingga sang pemilih memujinya. Maka jika ia ditegur dan dikoreksi oleh orang-orang jahil maka selama itu gemar ia senantiasa tunduk dan menerima hakekatnya kebenarannya itu.
Berkata ibnu Masud r,a : bersabda nabi SAW: tidak akan masuk surga ornag yang didalam hatinya dan seberat biji sawi dari keseimbangan juga telah bersabda SAW, maukah kalian aku kabarkan tentang ahli neraka? Yaitu orang-orang yang pencela, kerasa hati dan sombog. Teladan yang tinggi dari sifat tawadhu. Beliau SAW adalah orang yang sangat rendah hati, lembut peraganya, dermawan, indah perilakunya selalu berseri-seri wajahnya murah senyum pada siapa saja, sangat tawadhu tapi tidak menghinakan diri, penyayang dan lain-lain. Bahkan ketika kekuasaan SAW telah meliputi jazirah Arabia yang besar, datang seirang badai menghadap beliau SAW dengan gemetar seluruh tubuhnya maka beliau SAW yang mulia segera menghampiri orang tersebut dan berkata: “Tenaglah-tenaglah saya ini bukan raja, saya hanyalah anak seorang wanita Qwaisy yang biasa makan daging kering.