Hukum Hadiah dalam Islam

Hukum Hadiah dalam Islam

egala puji hanya bagi Allah. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali hanya Allah semata, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Amma ba’du.

Termasuk perkara yang tidak diragukan lagi, bahwa hadiah dalam kehidupan antar individu dan komunitas manusia memiliki pengaruh yang signifikan untuk terwujudnya ikatan dan hubungan sosial, momen-momennya senantiasa terulang setiap hari di acara-acara keagamaan, kemasyarakatan, dan selainnya. Dengan hadiah, terwujudlah kesempurnaan untuk meraih kecintaan, kasih sayang, sirnanya kedengkian, dan terwujudnya kesatuan hati.

Hadiah merupakan bukti rasa cinta dan bersihnya hati, padanya ada kesan penghormatan dan pemuliaan. Dan oleh karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan menganjurkan untuk saling memberi hadiah serta menganjurkan untuk menerimanya.

Al Imam Al Bukhari telah meriwayatkan hadits di dalam Shahihnya (2585), dan hadits ini memiliki hadits-hadits pendukung yang lain. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan membalasnya.”

Dan di dalam Ash Shahihain (Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila diberi makanan, beliau bertanya tentang makanan tersebut, “Apakah ini hadiah atau shadaqah?” Apabila dikatakan, “Shadaqah” maka beliau berkata kepada para shahabatnya, “Makanlah!” Sedangkan beliau tidak makan. Dan apabila dikatakan “Hadiah”, beliau mengisyaratkan dengan tangannya (tanda penerimaan beliau -pent). Lalu beliau makan bersama mereka. (HR. Al Bukhari [2576] dan Muslim [1077])

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

“Hendaknya kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, lihat Shahihul Jami’ [3004] dan Al Irwa’ [1601])

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

“Penuhilah undangan, jangan menolak hadiah, dan janganlah menganiaya kaum muslimin.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad dan Shahihul Jami’ Ash Shaghir [158])

Dan dikarenakan sangat pentingnya dan pengaruh hadiah di dalam perikehidupan kaum muslimin serta perhatian Islam terhadapnya mengharuskan untuk dijelaskannya perkara-perkara yang berkaitan dengan hadiah berupa keadaan-keadaan, hukum-hukum, apa-apa saja yang diperbolehkan dari hadiah tersebut serta yang tidak diperbolehkan.

Pengertian Hadiah (Al-Athiyah, pemberian -pent)

Menurut istilah syar’i, maka hadiah ialah menyerahkan suatu benda kepada seorang tertentu agar terwujudnya hubungan baik dan mendapatkan pahala dari Allah tanpa adanya permintaan dan syarat.

Dan di sana ada sisi keumuman dan kekhususan di kalangan para ulama antara hibah, pemberian (athiyah) dan shadaqah. Dan poros definisi di antara tiga perkara ini adalah niat, maka shadaqah diberikan kepada seseorang yang membutuhkan dan dalam rangka mencari wajah Allah Ta’ala. Sedangkan hadiah diberikan kepada orang yang fakir dan orang kaya, dan diniatkan untuk meraih rasa cinta dan membalas budi atas hadiah yang diberikan (sebelumnya -pent). Dan terkadang pemberian hadiah itu juga bertujuan untuk mencari wajah Allah. Adapun hibah dan athiyah, tidak ada di antara keduanya perbedaan dan terkadang dimaksudkan untuk memuliakan orang yang diberikan hibah atau athiyah saja dikarenakan suatu keistimewaan atau sebab tertentu dari sebab-sebab yang ada.

Hukum Hadiah

Diperbolehkan dengan kesepakatan (ulama -pent) umat ini. Apabila tidak terdapat di sana larangan syar’i. Terkadang disunnahkan untuk memberikan hadiah apabila dalam rangka menyambung silaturrahim, kasih sayang dan rasa cinta. Terkadang disyariatkan apabila dia termasuk di dalam bab ‘Membalas Budi dan Kebaikan Orang Lain dengan Hal yang Semisalnya’. Dan terkadang pula, bisa menjadi haram atau perantara menuju perkara yang haram, dan ia merupakan hadiah yang berbentuk suatu yang haram, atau termasuk dalam kategori sogok-menyogok dan yang sehukum dengannya. Dan akan datang sebentar lagi pembahasan tentang macam-macam hadiah dan hukum masing-masing darinya.

Hukum Menerima Hadiah

Para ulama berselisih pendapat tentang orang yang diberikan bingkisan hadiah, apakah wajib menerimanya atau disunnahkan saja? Dan pendapat yang kuat bahwasanya orang yang diberikan hadiah yang mubah dan tidak ada penghalang syar’i yang mengharuskan menolaknya, maka wajib menerimanya, dikarenakan dalil-dalil berikut ini:

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Penuhilah undangan, jangan menolak hadiah, dan janganlah menganiaya kaum muslimin.” (Telah lewat takhrijnya yaitu di dalam Shahihul Jami’ [158])

2. Di dalam Ash Shahihain (Al Bukhari dan Muslim -pent.) dari Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberiku sebuah bingkisan, lalu aku katakan, ‘Berikan ia kepada orang yang lebih fakir dariku’, maka beliau menjawab, ‘Ambillah, apabila datang kepadamu sesuatu dari harta ini, sedangkan engkau tidak tamak dan tidak pula memintanya, maka ambillah dan simpan untuk dirimu, jikalau engkau menghendakinya, maka makanlah. Dan bila engkau tidak menginginkannya, bershadaqahlah dengannya’.”

Salim bin Abdillah berkata, “Oleh karena itu, Abdullah (bin Umar -pent.) tidak pernah meminta kepada orang lain sedikitpun, dan tidak pula menolak bingkisan yang diberikan kepadanya sedikitpun.” (Shahih At Targhib No. 835)

Dan di dalam sebuah riwayat, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketahuilah demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya! Saya tidak akan meminta kepada orang lain sedikitpun, dan tidaklah aku diberikan suatu pemberian yang tidak aku minta melainkan aku mengambilnya….” (Shahih At Targhib [836])

3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah menolak hadiah kecuali dikarenakan sebab yang syar’i sebagaimana akan dijelaskan sebentar lagi. Oleh karena adanya dalil-dalil ini, maka wajib menerima hadiah apabila tidak dijumpai larangan syar’i.

4. Demikian pula di antara dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya, adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

“Barangsiapa yang Allah datangkan kepadanya sesuatu dari harta ini, tanpa dia memintanya, maka hendaklah dia menerimanya, karena sesungguhnya itu adalah rezeki yang Allah kirimkan kepadanya.” (Shahih At Targhib [839])

Dan di dalam riwayat lain dari Khalid Al Jahnany radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‘Barangsiapa yang sampai kepadanya sebuah kebaikan dari saudaranya dengan tanpa meminta dan tamak, hendaklah dia menerimanya dan tidak menolaknya, karena sesungguhnya itu merupakan rezeki yang Allah Azza wa Jalla kirimkan kepadanya’.” (HR. Ahmad, Ath Thabrani, Ibnu Hibban, Al Hakim, Shahih At Targhib wat Tarhib [838])

Maka menjadi kuatlah (pendapat yang mengatakan -pent.) wajibnya menerima hadiah apabila tidak ada di sana larangan syar’i.

Hukum Menolak Hadiah

Setelah jelas bagi kita wajibnya menerima hadiah, maka tidak boleh menolaknya kecuali dikarenakan udzur syar’i. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita untuk menolak hadiah dengan sabda beliau,

“Jangan kalian menolak hadiah.” (Telah lewat takhrijnya)

Dan terkadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak hadiah dikarenakan satu sebab dari sebab-sebab yang ada. Di antaranya:

1. Di dalam Ash Shahihain dari hadits Ash Sha’bu bin Jutsamah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya beliau memberi hadiah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berupa seekor keledai liar, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menolaknya. Maka tatkala beliau melihat ada sesuatu di raut wajah Ash Sha’bu, beliau berkata,

“Ketahuilah, sesungguhnya kami tidak menolaknya, hanya saja kami dalam keadaan sedang berihram.” (HR. Al Bukhari [2573], Muslim [1193])

Ibnu Hajar berkata, “Di dalam hadits ini ada dalil bahwasanya tidak boleh menerima hadiah dan tidak halalnya hadiah (ketika ihram, -pent.).”

2. Dalam Ash Shahihain dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Ummu Hafid, bibinya Ibnu Abbas pernah memberikan hadiah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa tepung aqith, minyak samin dan daging dhab (sejenis biawak -ed.). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam makan tepung aqith dan minyak samin, namun meninggalkan daging dhab dikarenakan merasa jijik.” (HR. Al Bukhari [2575], dan Muslim hal. 1544)

Dan dalam hadits ini ada beberapa faidah:

• Bolehnya menerima hadiah dari para wanita apabila aman dari fitnah.

• Bolehnya menolak hadiah dikarenakan suatu sebab.

• Seseorang yang memberi hadiah tidak boleh merasa sedih apabila hadiahnya ditolak, dan hendaknya dia memberi udzur bagi orang yang menolaknya. Atau tidak boleh merasa berduka, selama alasannya jelas.

3. Dan di dalam Abu Dawud, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Demi Allah, saya tidak akan menerima hadiah dari seorang pun setelah hari ini kecuali dia seorang Muhajir Quraisy, atau seorang Anshar, atau seorang dari suku Daus atau seorang dari suku Tsaqif.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Shahih Adabul Mufrad [464], Ash Shahihah [1684])

Dan pernah ada seorang arab gunung memberikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa seekor unta lalu beliau menggantinya, maka sang badui ini memarahi beliau, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menambahnya dan bersabda,

“Apakah kamu telah ridha?”

Dia menjawab, “Tidak.”

Lalu ditambah lagi oleh beliau hingga beliau menggantinya dengan enam ekor unta.” (Silakan merujuk riwayat-riwayat ini dalam Jami’ul Ushul [11/611])

 

t untuk mengambil lebih banyak darinya, dan jikalau dia tidak mengambil lebih banyak dari hadiah yang dia berikan, dan ini membuat si pemberi marah, maka boleh menahan diri dari menerima hadiahnya.”

Dan di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bolehnya menolak hadiah apabila dia khawatir muncul fitnah dari hadiah tersebut, atau terdapat penghinaan terhadap orang yang mengambil hadiah tersebut. Dan demikian pula Sulaiman ‘alahissalam menolak hadiah Ratu Balqis dikarenakan ia merupakan suap-menyuap di dalam perkara agama agar Sulaiman ‘alaihissalam diam darinya dan membiarkan dia beribadah kepada matahari. Apabila hadiah tersebut berupa suap-menyuap untuk membatalkan kebenaran dan melegalkan kebatilan, maka tidak boleh diterima ketika itu.

Dan demikian pula apabila hadiah tersebut diperuntukkan bagi para pemimpin, para menteri, dan para pejabat, agar mereka memberimu sesuatu yang bukan menjadi hakmu, atau mereka memaafkan kamu dari sesuatu yang tidak pantas untuk mereka maafkan, maka ketika itu haram bagimu memberikan hadiah dan haram bagi mereka menerima hadiah tersebut dikarenakan itu merupakan suap-menyuap, dan sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap di dalam hukum.” (Shahihul Jami’ [5093])

Dan demikian pula apabila hadiah tersebut berupa barang curian atau barang haram. Maka tidak boleh diterima karena yang demikian itu termasuk makan barang haram dan termasuk tolong-menolong di atas dosa dan permusuhan.

Dan telah lewat di antara kita hadits Ash Sha’bu bin Jutsamah bahwasanya dia memberikan hadiah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa seekor keledai liar, sedangkan beliau dalam keadaan ihram, maka beliau menolaknya dikarenakan tidak boleh seorang yang ihram untuk berburu ketika dia beribadah.

Begitu juga apabila yang memberi hadiah tersebut menganggap hadiahnya sebagai hutang bagimu dan kamu tidak menginginkan untuk menanggung hutang tersebut, baik secara syar’i maupun secara kebiasaan, maka boleh bagimu untuk menahan diri dari mengambilnya disertai dengan meminta udzur. Dan demikian pula bila sang pemberi hadiah tersebut adalah seorang yang suka mengungkit-ungkit pemberiannya dan menceritakannya, maka tidak boleh diterima hadiah itu darinya.

Kesimpulannya, hukum asal adalah wajib menerima hadiah dan tidak boleh menolaknya kecuali apabila didapati larangan syar’i atau udzur maka boleh menolaknya.

Macam-macam Hadiah yang Tidak Boleh Ditolak

Telah lewat bersama kita dalil-dalil secara umum yang menunjukkan tidak bolehnya menolak hadiah. Akan tetapi telah datang dalil-dalil khusus yang menunjukkan tidak bolehnya menolak sebagian hadiah disebabkan zat hadiah tersebut. Di antaranya:

1. Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,

“Tiga perkara yang tidak boleh ditolak: bantal-bantal, minyak wangi, dan susu.” (HR. At Tirmidzi dari Umar, dan terdapat di dalam Shahihul Jami’ [3046] dan Ash Shahihah [619] dan Shahih At Tirmidzi [2241])

Ath Thibi rahimahullah berkata, “Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menginginkan bahwasanya tamu itu dimuliakan dengan memberikan bantal, minyak wangi, dan susu. Dan itu merupakan hadiah yang sedikit jumlahnya, maka tidak sepantasnyalah ditolak.” (Tuhfatul Ahwadzi [8/61], hadits no. 2942)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Barangsiapa ditawari raihan, maka jangan menolaknya, sebab raihan itu mudah dibawa lagi harum baunya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Musnad Abu Ya’la, Shahihul Jami’ [6268])

Ibnu Atsir berkata di dalam An Nihayah, “Ar Raihan adalah setiap tumbuhan yang harum baunya yang termasuk dari jenis wewangian.”

2. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menolak minyak wangi.”

Membalas Pemberian Hadiah (yaitu membalas kebaikan orang yang memberi hadiah dengan hadiah semisalnya)

Disunnahkan membalas pemberian hadiah dengan yang semisalnya atau dengan sesuatu yang lebih afdhal dari hadiah tersebut, maka apabila dia tidak mampu untuk membalasnya, hendaknya dia menyanjung sang pemberi hadiah dan mendoakan kebaikan untuknya dengan ucapan, “Jazaakallahu khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan),” atau yang selainnya dari doa-doa yang ada.

1. Di dalam Shahih Al Bukhari (2585), dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan membalasnya.”

2. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Barangsiapa yang meminta perlindungan kepada kalian dengan nama Allah, maka lindungilah dia. Dan barangsiapa yang meminta kepada kalian dengan nama Allah, maka berilah dia. Dan barangsiapa mengundang kalian, maka penuhilah undangan tersebut. Barangsiapa berbuat kebajikan pada kalian. Maka balaslah dengan semisalnya. Lalu jika kalian tidak mendapati sesuatu yang semisalnya yang bisa kalian berikan, maka doakanlah dia dengan kebaikan hingga kalian memandang bahwasanya kalian sungguh telah membalasnya dengan semisalnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, An Nasa’i, Shahihul Jami’ [6021])

3. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Barangsiapa diberikan sesuatu lalu dia mendapati (suatu untuk membalasnya -pent.), hendaknya dia membalas dengannya. Dan barangsiapa yang tidak mendapati (sesuatu untuk membalasnya -pent.) hendaknya ia menyanjungnya. Apabila dia telah menyanjungnya, sungguh ia telah berterima kasih kepadanya.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Shahih Al Bukhari, Al Adabul Mufrad lil Bukhari, Shahihul Jami’ [6065], dan Ash Shahihah [617])

4. Dikeluarkan oleh Al Imam Ath Thabrani dari Al Hakam bin Umair, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Barangsiapa memberikan sesuatu kepada kalian berupa kebajikan, maka balaslah dengan semisalnya. Kalau kalian tidak mendapati (apapun untuk membalasnya -pent.) maka doakanlah kebaikan untuknya.” (Shahihul Jami’ [5937], Shahihut Targhib)

5. Dan dari Usamah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Barangsiapa yang diberikan sesuatu kebaikan, lalu dia ucapkan ‘Jazakallahu khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan)’ kepada orang yang memberi kebaikan. Maka sungguh dia benar-benar telah berterimakasih kepadanya.” (HR. At Tirmidzi dan yang selainnya, Shahihut Targhib wat Tarhib [955])

Dari hadits-hadits ini nampak jelas bagi kita bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam membalas pemberian hadiah dengan semisalnya dan bahwasanya sudah sepantasnya berterimakasih kepada si pemberi hadiah, memujinya dan mendoakan kebaikan untuknya, dikarenakan tidaklah dikatakan bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterimakasih kepada manusia.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah diberi hadiah berupa seekor kambing, beliau bersabda, “Bagi-bagikan ia.” Apabila si pembantu telah kembali maka ‘Aisyah bertanya kepadanya, “Apa yang mereka katakan?” Si pembantu menjawab, “Mereka mengucapkan ‘Barakallahu fiikum (semoga Allah memberkahi kalian)’.” Lalu ‘Aisyah mengucapkan, “Wa fii him barakallah (dan semoga Allah memberkahi mereka), kita membalas mereka dengan semisal apa yang mereka ucapkan, dan semoga pahala kita tetap bagi kita.” (Shahih Al Kalimut Thayyib [185])

Hukum Meminta Kembali Hadiah (yang telah diberikan -pent.), Tidak Boleh kecuali Orang Tua kepada Anaknya

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Orang yang meminta kembali hibahnya itu seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya.” (HR. Al Bukhari [2589], Muslim [3622])

Al Imam Al Bukhari memberikan keterangan di dalam Shahihnya, “Bab Tidak Halal bagi Seseorang untuk Meminta Kembali Hibah dan Shadaqahnya.”

Ibnu Hajar rahimahullah berkata di dalam Fathul Bari (5/235), “Jumhur ulama berpendapat haram meminta kembali suatu hibah (pemberian) setelah diserahterimakan, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.”

2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Tidak ada menurut kami permisalan yang lebih jelek daripada seorang yang meminta kembali hibahnya diserupakan seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya.” (HR. Al Bukhari [2622])

Ibnu Hajar berkata, “Maksudnya ialah tidak pantas bagi kita -wahai segenap kaum mukminin- bersifat dengan sifat yang tercela yang kita diserupakan di dalamnya dengan hewan yang paling hina pada keadaan yang paling hina… Barangkali ini lebih mengena di dalam pelarangan terhadap hal yang demikian itu dan lebih menunjukkan pengharaman daripada seandainya beliau mengatakan semisal,

“Janganlah kalian meminta kembali hibah yang telah diberikan.” (Shahih, 5/235)

Imam An Nawawi berkata, “Hadits ini jelas-jelas mengharamkan meminta kembali hibah (shadaqah) setelah diserahterimakan. Ini dibawa kepada hibah yang diperuntukkan kepada orang lain. Adapun apabila dia memberikan hibah tersebut kepada anaknya dan anak cucunya, maka boleh bagi dia meminta kembali hibah tersebut. Sebagaimana ditegaskan di dalam hadits Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu. Dan tidak boleh meminta kembali hibah yang telah diberikan kepada saudara, paman, dan selain mereka dari kalangan dzawil arham (orang-orang yang memiliki hubungan persaudaraan dengannya). Ini merupakan madzhab Imam Asy Syafi’i, pendapat ini diucapkan pula oleh Imam Malik dan Al Auza’i.” (Syarah Muslim, 11/71)

Saya katakan bahwa sungguh telah shahih hadits-hadits yang secara tegas mengharamkan meminta kembali hadiah yang telah diberikan, kecuali orang tua terhadap apa yang dia berikan kepada anaknya. Dan di antaranya:

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Tidak halal bagi seseorang memberikan sebuah hibah lalu memintanya kembali kecuali orang tua yang memberi hadiah kepada anaknya. Dan perumpamaan seseorang yang memberikan suatu pemberian kemudian memintanya kemb

ali seperti anjing memakan makanan, maka apabila telah kenyang, ia muntahkan kemudian ia jilat kembali muntahnya.” (HR. Al Bukhari, Al Arba’ah [Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah], Shahihul Jami’ [7655])

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Tidak boleh bagi seseorang meminta kembali hibahnya kecuali orang tua kepada anaknya. Dan seorang yang meminta kembali hibahnya seperti seorang yang memakan kembali muntahnya.” (Shahih Muslim, An Nasa’i, Shahihul Jami’ [7686])

Kemudian di sana ada beberapa keadaan diperbolehkan hadiah itu ditolak dan dimintakan kembali:

Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Imam Ath Thabari berkata, “Dikhususkan dari keumuman hadits ini beberapa hal:

a. Seorang yang memberikan hibah dengan syarat meminta imbalan kembali.

b. Orang yang memberi tersebut adalah orang tua, sedangkan yang diberi itu adalah anaknya.

c. Hibah yang belum diserahterimakan.

d. Pemberian yang dikembalikan oleh ahli waris kepada orang yang menghibahinya, dikarenakan telah tetapnya hadits-hadits yang mengecualikan semua itu.”

Hukum Mengungkit-ungkit Hadiah (yang telah diberikan)

Allah Ta’ala berfirman,

“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (Al Baqarah: 263-264)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Tiga golongan yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan Allah tidak mau melihat mereka dan juga tidak mensucikan mereka dan bagi mereka azab yang pedih.” Abu Dzar berkata, “Betapa celaka dan ruginya mereka. Siapakah mereka ya Rasulullah?” Beliau bersabda, “Seorang yang musbil (orang yang memanjangkan celana/sarungnya melebihi mata kakinya), orang yang suka mengungkit-ungkit pemberiannya, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim, 106)

Dan di dalam riwayat Muslim yang lain,

“Seorang yang suka mengungkit-ungkit pemberian yang tidaklah dia memberikan sesuatu melainkan dia mengungkit-ungkitnya.”

Maka jelaslah bagi kita mengungkit-ungkit di dalam pemberian hadiah, termasuk dari dosa-dosa besar.

Hukum Hadiah yang Tidak Dikenal, yaitu yang Pemiliknya Tidak Diketahui

Hukumnya diperbolehkan kecuali ada dugaan kuat bahwa pemiliknya atau yang orang yang memaksudkan hadiah tersebut keliru untuk siapa hadiah tersebut diberikan.

Hukum Bila Orang yang Diberikan Hadiah Tersebut Meninggal Sebelum Sampainya Hadiah

Jumhur ulama berpendapat bahwa hadiah tersebut tidak berpindah kepada orang yang diberi, kecuali dia atau wakilnya telah menerima hadiah tersebut. ‘Abidah As Salmani berkata, “Apabila hadiah tersebut telah dibagi-bagikan maka untuk ahli warisnya. Dan apabila belum dibagi-bagikan, maka dikembalikan kepada orang yang memberikan hadiah tersebut.”

Dan yang benar adalah pendapat jumhur bahwasanya apabila ia, wakilnya, atau utusannya telah menerima hadiah itu, maka ia diperuntukkan bagi ahli waris si penerima. Dan demikian pula apabila si pemberi telah menjanjikan hadiah tersebut kepada si penerima sebelum si penerima wafat. (Silakan rujuk Fathul Bari, 5/221-222)

Hadiah untuk Kerabat yang Terdekat Itu Lebih Utama (kedekatan dari sisi nasab dan bertetangga)

Di dalam Ash Shahihain diriwayatkan bahwa Maimunah radhiyallahu ‘anha pernah suatu kali memerdekan seorang budak wanita, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya,

“Ketahuilah sesungguhnya kamu jika memberikannya kepada paman-pamanmu (dari pihak ibu) niscaya kamu akan mendapatkan pahala yamg lebih besar.” (HR. Al Bukhari [2592], dan Muslim [999])

Dan di dalam Shahih Al Bukhari (2595) diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau berkata,

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki dua orang tetangga, maka siapakah di antara keduanya yang lebih layak aku berikan hadiah?”

Beliau menjawab,

“Kepada yang lebih dekat pintunya darimu.”

Maka bisa diambil faedah dari dua hadits ini bahwa kerabat itu lebih didahulukan di dalam pemberian hadiah daripada orang asing. Dan apabila para kerabat itu setara dalam tingkat kekerabatannya, maka didahulukan yang paling dekat pintunya. Dan ini semua apabila mereka sama-sama membutuhkan. Wallahu a’lam.

Share this Post: