Sejarah Pacu Jalur Kuansing Hingga Jadi Ivent Nasional

Sejarah Pacu Jalur Kuansing Hingga Jadi Ivent Nasional
PENGERTIAN PACU JALUR
 Pacu jalur merupakan tradisi masyarakat kabupaten kuantan singing yang sudah berlangsung secara turun temurun sejak zaman dahulu.Sejak kapan penduduk rantau kuantan yang tinggal di sepanjang batang kuantan mengenal jalur dan pembuatan nya,tidak dapat ditunjukkan tahun yang pasti.Tapi di perkirakan pacu jalur sudah dikenal penduduk di rantau kuantan ini semenjak tahun 1900.
 Pada mulanya yang dipacukan penduduk kebanyakan perahu-perahu besar yang biasa di pakai untuk mengangkut hasil bumi misalnya tebu,pisang dan lain sebagainya.Perahu-perahu besar ini di pacukan penduduk untuk merayakan berbagai hari besar islam,maulid Nabi Muhammad SAW,hari raya Idul Fitri dan tanggal 1 muharam dan lainnya.
 Semenjak kedatangan Belanda di kota Taluk Kuantan ± tahun 1905,Belanda tetap melanjutkan kegiatan pacu jalur,dan menukar tujuan dan tanggal pelaksanaannya yaitu pada tanggal 31 Agustus dalam rangka memperingati  ulang tahun ratu Wihelmina.
 Hingga tahun 1950 jalur dengar pacu jalur nya belum kembali ke dalam kehidupan budaya masyarakat kuantan singingi,dan pada tahun 1951 dan 1952 sesudah zaman Jepang dan agresi Belanda,jalur kembali ke kehidupan masyarakat kuantan singingi,dimana waktu pelaksanaan dan tujuan melaksanakan dilakukan dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia.Teluk kuantan dan Baserah yaitu dua kecamatan yang selalu mengadakan pacu jalur setiap ulang tahun kemerdekaan.
 Sayang nya, akhir-akhir ini banyak kesenian dan budaya tradisional , permainan rakyat , budaya local sudah hamper punah .  Hal tersebut pelu usaha-usaha untuk pelestarian pelestarian kesenian daerah agar tidak hilang di makan masa. Hal yang menghawatirkan lagi adalah kesenian , budaya atau tradisi local tertentu ada yang menklaim sebagai tradisi atau kesenian daerah mereka. Oleh sebab itu perlu kajian revitalisasi pacu jalur sehingga seluruh proses, aktivitas dan kesenian kesenian yang melekat dengan kegiatan pacu jalur tersebut terdokumen dan merupakan hak cipta atau milik (tradisi) masyarakat kuantan singingi. (pemerintah kabupaten kuantan singingi,2011;1-2)

Sejarah Pacu Jalur berawal abad ke-17,

Dimana jalur merupakan alat transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan, yakni daerah di sepanjang Sungai Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir. Saat itu memang belum berkembang transportasi darat. 

Akibatnya jalur itu benar-benar digunakan sebagai alat angkut penting bagi warga desa, terutama digunakan sebagai alat angkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu, serta berfungsi untuk mengangkut sekitar 40 orang. 

Kemudian muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri). 

Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu. 

Baru pada 100 tahun kemudian, warga melihat sisi lain yang membuat keberadaan jalur itu menjadi semakin menarik, yakni dengan digelarnya acara lomba adu kecepatan antar jalur yang hingga saat ini dikenal dengan nama Pacu Jalur. Pada awalnya, pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam. 

Namun, seiring perkembangan zaman, akhirnya Pacu Jalur diadakan untuk memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu Pacu Jalur diadakan sekitar bulan Agustus.  Dapat digambarkan saat hari berlangsungnya Pacu Jalur, kota Jalur bagaikan lautan manusia. Terjadi kemacetan lalu lintas dimana-mana, dan masyarakat yang ada diperantauan akan terlihat lagi, mereka akan kembali hanya untuk menyaksikan acara ini. Biasanya jalur yang mengikuti perlombaan, bisa mencapai lebih dari 100. 

Menurut masyarakat setempat jalur adalah 'perahu besar' terbuat dari kayu bulat tanpa sambungan dengan kapasitas 45-60 orang pendayung (anak pacu).Panjang jalur antara 16 m s/d 25 m dan lebar bagian tengah kir-kira 1,3 m s/d 1,5 m.

Menurut catatan sejarah jalur mulai ada di Rantau Kuantan sekitar abad ke 17 akhir, mulanya jalur juga dipakai sebagai menyambut tamu-tamu terhormat seperti  raja, sultan yang berkunjung ke Rantau Kuantan. Sejak tahun 1905 jalur tersebut di lombakan (dipacukan) dan mulai saat itu, dikenal dengan nama PACU JALUR. Artinya jalur yang dipacukan (dilombakan) atau lomba jalur.

Pada masa penjajahan Belanda pacu jalur diadakan untuk memeriahkan perayaan adat, kenduri rakyat dan untuk memperingati hari kelahiran ratu Belanda wihelmina yang jatuh pada tanggal 31 Agustus. Kegiatan pacu jalur pada zaman Belanda di mulai pada tanggal 31 agustus s/d 1 atau 2 september. Perayaan pacu jalur tersebut dilombakan selama 2-3 hari, tergantung pada jumlah jalur yang ikut pacu.

Menurut orang tua setempat, pada zaman Belanda jumlah jalur belum banyak sampai sekarang seperti pada saat sekarang yang jumlah nya sampai ratusan buah. Pada masa itu jumlah jalur hanya berkisar antara 22 sampai 30 buah jalur. "Kegiatan pacu jalur tersebut hanya anak sekolah yang berasal dari desa-desa sekitar di Teluk Kuantan yang melakukan upacara dengan menyanyikan wihelmus sebagai lagu Kebangsaan Belanda pada saat itu," katanya.

Setelah kemerdekaan kegiatan pacu jalur dilakukan 1 kali dalam 1 tahun yaitu dalam rangka memperingati hari kemerdekaan (HUT RI) yang jatuh pada tanggal 17 Agustus. Hingga saat ini ivent pacu jalur terus ramai dikunjungi masyarakat dan jumlah pengunjung mencapai jutaan dan menjadi wisata unggulan Kuansing dan Riau.

Selama ini pacu jalur sudah di jadikan event kalender wisata nasional dan di geser harinya mundur yaitu di mulai pada tanggal 23-26 Agustus setiap tahun, kecuali pada tahun 2011  lalu dimana pacu jalur di majukan lebih awal karena HUT RI bertepatan dengan bulan puasa (bulan ramadhan) sehingga tidak mengganggu umat selain menunaikan kewajibanya

Share this Post: