Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ancaman serius berkaitan dengan mengerasnya konflik-konflik dalam masyarakat, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Konflik-konflik itu pada dasarnya merupakan produk dari sistem kekuasaan Orde Baru yang militeristik, sentralistik, dominatif, dan hegemonik. Sistem tersebut telah menumpas kemerdekaan masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya dalam wilayah sosial, ekonomi, politik, maupun kultural.
Kemajemukan bangsa yang seharusnya dapat kondusif bagi pengembangan demokrasi ditenggelamkan oleh ideologi harmoni sosial yang serba semu, yang tidak lain adalah ideologi keseragaman. Bagi negara kala itu, kemajemukan dianggap sebagai potensi yang dapat mengganggu stabilitas politik. Karena itu negara perlu menyeragamkan setiap elemen kemajemukan dalam masyarakat sesuai dengan karsanya, tanpa harus merasa telah mengingkari prinsip dasar hidup bersama dalam kepelbagaian. Dengan segala kekuasaan yang ada padanya negara tidak segan-segan untuk menggunakan cara-cara koersif agar masyarakat tunduk pada ideologi negara yang maunya serba seragam, serba tunggal.
Perlakuan Negara yang demikian kean diapresiasi dan diinternalisasi oleh masyarakat dalam kesadaran sosial politiknya. Pada gilirannya kesadaran yang bias state itu mengarahkan sikap dan perilaku sosial masyarakat kepada hal-hal yang bersifat diskriminatif, kekerasan, dan dehumanisasi.
Hal itu dapat kita saksikan dari kecenderungan xenophobia dalam masyarakat ketika berhadapan dengan elemen-elemen pluralitas bangsa. Penerimaan mereka terhadap pluralitas kurang lebih sama dan sebangun dengan penerimaan negara atas fakta sosiologis-kultural itu. Karena itu, subyektivitas masyarakat kian menonjol dan pada gilirannya menafikan kelompok lain yang dalam alam pikirnya diyakini “berbeda”. Dari sinilah konflik-konflik sosial politik memperoleh legitimasi rasionalnya. Tentu saja untuk hal ini kita patut meletakkan negara sebagai faktor dominan yang telah membentuk pola pikir dan kesadaran antidemokrasi di kalangan masyarakat.
Ketika negara mengalami defisit otoritas, kesadaran bias state masyarakat semakin menonjol dalam pelbagai pola perilaku sosial dan politik. Munculnya reformasi telah menyediakan ruang yang lebih lebar bagi artikulasi pendapat dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Masalahnya, artikulasi pendapat dan kepentingan itu masih belum terlepas dari kesadaran bias state yang mengimplikasikan dehumanisasi. Itulah mengapa kemudian muncul pelbagai bentuk tragedi kemanusiaan yang amat memilukan seperti kita saksikan dewasa ini di Aceh, Ambon, Sambas, Papua, dan beberapa daerah lain. Ironisnya lagi, ternyata ada the powerful invisible hand yang turut bermain dalam menciptakan tragedi kemanusiaan itu.
Jadi, reformasi yang tengah kita laksanakan sekarang ini harus mampu membongkar aspek struktural dan kultural yang kedua-duanya saling mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kita tidak dapat semata-mata bertumpu kepada aspek struktural atau sistem kekuasaan yang ada, melainkan harus pula melakukan dislearn atas wacana dan konstruksi pemikiran masyarakat. Di sini kita sebenarnya berada dalam area dominasi dan hegemoni negara seperti yang dibeberkan oleh Karl Marx dan Antonio Gramsci.
Repotnya, apa yang terjadi di Indonesia adalah reformasi, dan bukan revolusi sosial. Gerakan reformasi, karena sifatnya yang moderat, cenderung berkompromi dengan anasir-anasir lama yang pro-status quo. Ini yang disebut Samuel P Huntington sebagai konsekuensi reformasi. Sementara revolusi, karena sifatnya yang radikal, bersikap tegas dalam menghadapi rezim kekuasaan yang lama dan anasir-anasir pro-status quo. Revolusi Bolshevik 1917 di bekas negara Uni Soviet merupakan contoh dari ketegasan sikap para pemimpin gerakan revolusi terhadap anasir kekuatan lama.
Dalam era pandang revolusioner, struktur kekuasaan harus dibalik sedemikian rupa sehingga diujudkan struktur kekuasaan yang benar-benar baru. Itulah mengapa kita rasakan perjalanan reformasi bangsa ini terasa menggemaskan karena lambatnya. Seringkali kita memang tidak begitu sabar untuk menjadi seorang demokrat, namun untuk menjadi seorang revolusioner sejati kita pun acap tidak punya nyali.
Kenyataan bahwa yang terjadi sekarang ini adalah reformasi menuntut segenap elemen dalam masyarakat untuk mereposisi gerakannya agar lebih kondusif bagi akselerasi reformasi. Artinya, kita tidak dapat lagi menggunakan wacana dan metode gerakan sebagaimana dilakukan pada masa kekuasaan Orde Baru. Gerakan sosial apa pun dalam masyarakat harus mulai menyediakan alternatif-alternatif yang lebih konkret kepada para pengambil keputusan.
Mengapa demikian? Karena kekuasaan negara hari ini, meskipun struktur dan sistemnya masih Orde Baru, tetapi di dalamnya mulai berlangsung dinamika yang lebih baik ke arah demokratisasi. Namun demikian ada dua soal yang harus secara terus-menerus dipertegas. Pertama, political will dan konsistensi pemerintah baru untuk melaksanakan agenda reformasi. Kedua, kesediaan masyarakat untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam mempercepat jalannya agenda reformasi.
Dalam konteks pengembangan kehidupan bangsa yang humanis, plural dan demokratis, baik pemerintah maupun masyarakat bertanggung jawab untuk membongkar struktur dan kultur dalam masyarakat yang masih diskriminatif. Kita tidak boleh lagi menyerahkan segala urusan kepada pemerintah sebagaimana yang sudah-sudah. Karena dengan begitu kita sebagai warga negara akan semakin kehilangan peran strategis, sementara pemerintah akan semakin dominan. Inilah momentum yang tepat bagi segenap warga negara Indonesia untuk berpartisipasi semaksimal mungkin dalam mengarahkan dan mengendalikan proses transisi bangsa dan negara ini menuju demokrasi yang sejati, atau minimal demokrasi yang stabil (stable democracy)
Selama berabad-abad, suku-suku bangsa di Indonesia umumnya hidup rukun tanpa benturan yang berarti. Falsafat Pancasila yang bertumpu pada agama lewat Ketuhanan Yang Maha Esa memberi konsep kedamaian abadi. Tiba-tiba pada masa reformasi, konflik kesukubangsaan, agama, pelapisan masyarakat sepertinya ikut mengusik kerukunan itu, seolah-olah menyimbolkan kemerdekaan dari depresi yang mendalam. Ibarat panas setahun dihapuskan hujan sehari. Semacam muncul stimulus perubah kepribadian pelbagai pihak dalam waktu sekejap.
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Konflik adalah sesuatu yang wajar terjadi di masyarakat, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Faktor – faktor penyebab konflik antara lain :
•Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
• Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda pula. seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya.
• Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, diantaranya menyangkut bidang ekonomi, politik, dan sosial.
• Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
• konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role)
• konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
• konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
• konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara).
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
1. keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
2. perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
3. kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
4. dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk “memenangkan” konflik.
• Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut.
• Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
Contoh – contoh konflik sosial yang terjadi di dunia antara lain :
• Konflik Vietnam berubah menjadi perang.
• Konflik Timur Tengah merupakan contoh konflik yang tidak terkontrol, sehingga timbul kekerasan. hal ini dapat dilihat dalam konflik Israel dan Palestina.
• Konflik Katolik-Protestan di Irlandia Utara memberikan contoh konflik bersejarah lainnya.
• Banyak konflik yang terjadi karena perbedaan ras dan etnis. Ini termasuk konflik Bosnia-Kroasia (lihat Kosovo), konflik di Rwanda, dan konflik di Kazakhstan.
Proses konflik itu akan selalu terjadi di mana pun, siapa pun dan kapan pun. Konflik merupakan realitas permanen dalam perubahan, dan perubahan adalah realitas permanen dalam kehidupan, dan dialektika adanya konflik, perubahan dan kehidupan akan bersifat permanen pula.
Meskipun demikian, konflik tidak boleh dibiarkan berkembang menjadi liar dan kemudian merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, apalagi tatanan berbangsa dan bernegara yang telah menjadi konsensus nasional. Karena itu, manajemen politik yang ada seharusnya mampu mengendalikan konflik, sehingga dapat menjadinya sebagai kekuatan yang mencerahkan, bukan kekuatan yang menghancurkan.
Kemampuan manajemen politik itu akan ditentukan oleh seberapa jauh dapat menyerap hakikat pendidikan multikultural. Jika tidak, maka manajemen politik akan berubah menjadi manajemen bisnis politik konflik, yaitu menjadikan konflik, sebagai bisnis politik untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar bagi kepentingan dirinya sendiri.
Dalam realitas kehidupan berbangsa, ternyata persatuan mengalami pasang surut. Pada masa menjelang kemerdekaan, maka persatuan bangsa terasa makin menguat dan bergelora di mana-mana, yang kemudian melahirkan semangat dan kekuatan perlawanan kepada penjajah Belanda untuk merebut dan mendapatkan kemerdekaan. Bahkan, agama pun turut memberikan legitimasinya untuk memperkuat perlawanan terhadap penjajahan, sebagai bagian dari panggilan agama, karena agama yang mana pun melarang umatnya untuk melakukan penjajahan atas bangsa yang lainnya. Penjajahan dipandang agama sebagai suatu kezaliman yang harus dilawan oleh siapa pun.
Akan tetapi, setelah kemerdekaan sudah dicapai dan sampailah kita untuk menata kekuasaan negara, maka kita pun segera berhadapan dengan usaha membagi-bagi kekuasaan pemerintahan, dan kepentingan membagi kekuasaan ternyata mempunyai kaitan dengan akar-akar konflik yang berbasis pada faham kedaerahan dan keagamaan, sehingga muncullah konflik politik kekuasaan yang berbasis fanatisme ras, suku dan keagamaan.
Konflik politik kekuasaan yang mencerminkan ketidak-adilan membuat persatuan bangsa terguncang-guncang, terluka, terkoyak, dan sering kali memperlemah rasa persatuan dan solidaritas kebangsaan.
Konflik sosial yang mewarnai pasang surutnya persatuan Indonesia harus menjadi perhatian dan perlu diwaspadai oleh kemampuan manajemen politik bangsa agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang memecah belah persatuan Indonesia. Salah satu caranya yang strategis adalah pendidikan multikultural yang dilakukan secara aktual, cerdas, dan jujur.
Pendidikan apa pun bentuknya, tidak boleh kehilangan dimensi multikulturalnya, termasuk di dalamnya pendidikan keagamaan dan keilmuan, karena realitas dalam kehidupan pada hakikatnya bersifat multidimensional. Demikian juga halnya manusia sendiri pada hakikatnya adalah sebagai makhluk yang multidimensional.
Karena itu, pendekatan kepada manusia dan untuk mengatasi problem kemanusiaan yang ada, tidak bisa lain kecuali dengan menggunakan pendekatan yang multidimensional. Dan, di dalamnya adalah pendidikan multikultural.
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau bhinneka tunggal ika, yaitu sebuah masyarakat negara yang terdiri atas masyarakat-masyarakat sukubangsa yang dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional dari masyarakat negara tersebut. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini penekanan keanekaragaman adalah pada sukubangsa dan kebudayaan sukubangsa. Dalam masyarakat Indonesia, setiap masyarakat sukubangsa secara turun temurun mempunyai dan menempati wilayah tempat hidupnya yang diakui sebagai hak ulayatnya yang merupakan tempat sumber-sumber daya dimana warga masyarakat sukubangsa tersebut memanfaatkan untuk kelangsungan hidup mereka.
Masyarakat majemuk seperti Indonesia, bukan hanya beranekaragam corak kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsanya secara horizontal, tetapi juga secara vertikal atau jenjang menurut kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial-politiklnya (Suparlan 1979). Tanpa disadari oleh banyak orang Indonesia, sebenarnya dalam masyarakat Indonesia terdapat golongan dominan dan minoritas, Sebagaimana yang terwujud dalam tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap mereka dalam berbagai interaksi baik interaksi secara individual maupun secara kategorikal baik pada tingkat nasional ( Penekanan dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia, yaitu pada keanekaragaman sukubangsa telah menghasilkan adanya potensi konflik antar-sukubangsa dan antara pemerintah dengan sesuatu masyarakat sukubangsa.
Potensi-potensi konflik tersebut memang sebuah permasalahan yang ada bersamaan dengan keberadaan coraknya yang secara sukubangsa majemuk. Sumber dari permasalahan ini terletak pada siapa atau golongan mana yang paling berhak atas sumber-sumber daya yang ada di dalam wilayah-wilayah kedaulatan dan kekuasaan sistem nasional atau pemerintah pusat.
Dampaknya adalah bahwa kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa sebagai sebuah kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar, yang muncul dalam interaksi sosial, menjadi sebuah acuan yang ampuh dalam upaya kohesi sosial dan solidaritas diantara sesama anggota sukubangsa dalam persaingan dan perebutan sumber-sumber daya yang secara adat menjadi hak mereka. Dampak lebih lanjut dari pengaktifan dan penggunaan kesukubangsaan dalam kehidupan sosial adalah ditegaskannya batas-batas kesukubangsaan oleh masyarakat sukubangsa setempat berkenaan dengan hak tersebut, yaitu siapa yang tergolong asli pribumi setempat, siapa yang pribumi setempat tetapi tidak asli, siapa yang pendatang, dan siapa yang asing. Penggolongan kesukubangsaan ini mempunyai buntut perlakuan sosial, politik, dan ekonomi oleh masyarakat sukubangsa setempat terhadap berbagai golongan tersebut diatas berupa tindakan-tindakan diskriminasi dari yang paling ringan .
Realita konflik di lapangan adalah munculnya kerusuhan, saling hasut-menghasut, caci-maki, menyiksa, mencederai, memperkosa, membunuh secara sadis atau penuh pertentangan bathin, membakar, merampas hak milik orang lain, mengusir, penghilangan dokumen-dokumen penting, membakar, dll.
Konflik yang berkepanjangan selalu menyisakan ironi dan tragedi. Kekerasan yang terjadi dalam rentang waktu lama menjadikannya sebagai perilaku yang seolah wajar dan bahkan terinstitusionalisasi. Akibatnya lingkaran setan kekerasan menjadi mata rantai yang semakin sulit untuk diputuskan. Karena perasaan masing-masing pihak adalah victim (korban) memicu dendam yang jika ada kesempatan akan dibalaskan melalui jalan kekerasan pula. Belum lagi kerusakan dan kerugian materiil yang harus di tanggung, sungguh tak terperikan lagi. Sebesar 15% responden menyatakan bahwa dampak konflik adalah jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar, 11,4 % menyatakan kehilangan pekerjaan, 11,6% menyatakan konflik telah membuat mereka yang tadinya akur dan rukun terpaksa harus saling berkelahi karena perbedaan identitas, bahkan 12,4% menyatakan bahwa perkelahian dan konflik tersebut mengakibatkan putusnya hubungan kekeluargaan diantara mereka yang secara kebetulan berbeda identitas etnis atau agama. Kerugian materiil, berupa kerusakan sarana ibadah dan sarana pendidikan masing-masing diutarakan oleh 9,8% dan 7,8% resoponden.
Dampak terbesar dari konflik yang membutuhkan perhatian dan penanganan serius, justru adalah pada aspek psiko-sosial masyarakat. Yaitu sebesar 16,7% responden menyatakan konflik telah membuat mereka selalu dihinggapi rasa takut dan merasa selalu tidak aman. Akibatnya, diantara kelompok-kelompok masyarakat timbul rasa saling curiga dan mengikis rasa kepercayaan diantara warga masyarakat (distrust), dinyatakan oleh 15% responden.
Dampak konflik lainnya adalah mengundang turun tangan keluarga dan sanak saudara dari kepulauan, kecamatan, kabupaten, propinsi hingga ibu kota negara datang membantu keluarganya secara ekonomi, tenaga, ikut berperang dll. Di sudut agama terpanggil rasa solidaritas se-agama dari pelbagai organisasi sosial keagamaan dari pelbagai penjuru tanah air hingga dari luar negeri. Kondisi ini dimanfaatkan pula oleh para pencuri, menyaru sebagai penyelamat-pemihak ternyata mejarah milik semua pihak.
Pasca konflik, ekses masih berlanjut, perumahan, lembaga pendidikan, perkantoran, sarana ibadah musnah setidaknya hancur, kehilangan harta benda, mata pencaharian dan sanak saudara, orang cacat, putus sekolah, penderita keabnormalan jiwa, saling curiga, hari depan yang suram, pihak keamanan dan birokrasi kehilangan kharisma, dll.
Trauma komunal seperti ini akan menimbulkan luka yang mendalam dan menyakitkan. Trauma komunal ini juga akan melahirkan ’pahlawan’ dan ’martir’ dari kedua belah pihak yang bertikai, berikut kenangan akan pengorbanannya yang digunakan untuk memperdalam perpecahan yang nyata diantara kelompok identitas yang berkonflik
Konflik yang terjadi di lima wilayah Sampit, Sambas, Ambon, Poso dan Ternate, menampilkan interaksi yang rumit antara kekuatan-kekuatan yang berbeda. Namun demikian semua kasus di tiap wilayah mewakili jenis konflik yang mengakar dan berkepanjangan. Karenanya, kesemuanya membutuhkan pendekatan yang berbeda-beda dan institusi yang berbeda pula untuk mengelola pertikaian dan membangun perdamaian yang berkelanjutan. Lebih jauh, masing-masing membutuhkan penciptaan struktur yang terancang baik yang sengaja ditujukan untuk kebutuhan yang spesifik. Karena itu sesungguhnya, tidak ada ”resep manjur” yang dapat diterapkan untuk mengatasi segala jenis konflik.
Di sinilah justru kelemahan dari upaya penanganan yang selama ini sudah dilakukan pemerintah. Dimana pola penanganan konflik di tiap wilayah cenderung ”diseragamkan”. Hal tersebut terlihat dari respon masyarakat yang menyatakan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah selain memberikan bantuan fisik materiil, seperti sembako, atau tempat penampungan hanya berkisar pada fasilitasi dialog (diutarakan oleh 46,3% responden), penjagaan oleh aparat keamanan (34,4%) dan sosialisasi perdamaian (19,2%).
Upaya-upaya yang lebih menyentuh persoalan yang mendasar dan substansi sebagaimana dikemukakan dalam point cara penanganan konflik, seperti penguatan basis sosial dan ekonomi masyarakat, pengaturan penguasaan sumber daya ekonomi secara lebih adil dan seterusnya belum banyak dilakukan. Akibatnya, pemerintah seringkali terjebak dalam paradigma menyelesaikan konflik dan bukannya mengelola konflik.
Dalam konteks teori-teori penanganan konflik yang dikemukakan Bloomfield, Ben Rielly, Charles Nupen, Pieter Haris yang telah dikutipkan terdahulu, maka respon masyarakat di lima wilayah konflik terhadap cara penyeleaian konflik yang mereka alami sungguh relevan dengan paradigma penanganan konflik mutakhir itu, dimana sebagian besar responden 73,2% menyatakan agar penyelesaian konflik dilakukan sendiri oleh masyarakat di masing-masing desa dengan melibatkan para tokoh agama, adat, etnis dan berbagai pemuka dan komponen masyarakat yang kompeten. Disusul kemudian 13% menginginkan agar penyelesaian konflik dilakukan di rumah ibadah saja, dengan difasilitasi oleh para pemuka agama. Hanya 7,5% saja yang menginginkan agar konflik diselesaikan di kantor polisi serta 5,7% saja yang menyatakan agar diselesaikan di pengadilan.
Untuk mempercepat proses penanganan konflik tersebut, maka warga masyarakat daerah konflik mengusulkan agar masing-masing pihak bisa lebih mengembangkan sikap saling menghargai, diutarakan oleh 27,6% responden. Selain itu juga harus dikembangkan sikap tenggang rasa (18,5%), bersedia untuk berbaur dan tidak mengelompok secara eksklusif (16,6%), serta mau bergotong (15,5%).
Dalam pen-Takdir-annya sebagai negara kepulauan atau negara maritim yang masyarakatnya bersifat majemuk (plural society), pemerintah dan masyarakat Indonesia masih harus belajar banyak dari sejarah perjalanannya sendiri tentang bagaimana mengelola kemajemukan tersebut agar menjadi modal sosial pembangunan bangsa. Masyarakat majemuk yang tersusun oleh keragaman kelompok etnik (etnic group) atau suku bangsa beserta tradisi-budayanya itu, tidak hanya berpeluang menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat di masa mendatang, tetapi juga berpotensi mendorong timbulnya konflik sosial yang dapat mengancam sendi-sendi integrasi negara-bangsa (nation-state), jika dinamika kemajemukan sosial-budaya itu tidak dapat dikelola dengan baik.
Sebagai unsur pembentuk sistem sosial masyarakat majemuk, kelompok-kelompok etnik memiliki kebudayaan, batas-batas sosial-budaya, dan sejumlah atribut atau ciri-ciri budaya yang menandai identitas dan eksistensi mereka. Kebudayaan yang dimiliki kelompok etnik menjadi pedoman kehidupan mereka dan atribut-atribut budaya yang ada, seperti adat-istiadat, tradisi, bahasa, kesenian, agama dan paham keagamaan, kesamaan leluhur, asal-usul daerah, sejarah sosial, pakaian tradisional, atau aliran ideologi politik menjadi ciri pemerlain atau pembeda suatu kelompok etnik dari kelompok etnik yang lain. Kebudayaan dan atribut sosial-budaya sebagai penanda identitas kelompok etnik memiliki sifat stabil, konsisten, dan bertahan lama.
Konflik erjadi yang berwujud wilayah rusuh di Indonesia merupakan akumulasi dari kerapuhan persatuan dan kesatuan warga masyarakat heterogen dalam satuan-satuan wilayah kebudayaan dengan kepentingan konspirasi kelompok-kelompok tertentu di dalam negeri serta pihak asing. Kepentingan itu dilaterbelakangi tujuan politik, ekonomi dan agama.
Upaya itu tidak mencapai sasaran puncak karena ditingkat elit dan pelaksana pihak keamanan dan birokrasi mayoritas masih komit dengan negara kesatuan sehingga serius memperkecil zona konflik dan kefatalan pelbagai dampaknya. Masyarakat dari berbagai suku dan agama juga tidak memiliki basic yang kuat memasuki kancah konflik bahkan sebaliknya dari semula sudah terbiasa hidup rukun dan damai dalam berbagai perbedaan.
Namun begitu karena masyarakat telah semakin berpendidikan dan cerdas, ditambah dengan nuansa reformasi secara mencuatnya konsep HAM, mereka menginginkan agar pelbagai pihak yang terkait dengan pembangunan kehidupan mereka, seyogyanya mengikutsertakannya dalam merancang program itu sehingga sesuai sasaran.